Preloader
  • By Admin PKU
  • (0) comments
  • March 1, 2025

RANGKUMAN SINGKAT SEMINAR INTERNASIONAL:علم التفسير وأصول الفقه في ثوبهما الجديد لمواجهة التحاديات المعاصرة والتصدي لمحاولات التنفير من الدينMUI DKI JAKARTA

RANGKUMAN SINGKAT SEMINAR INTERNASIONAL:
علم التفسير وأصول الفقه في ثوبهما الجديد لمواجهة التحاديات المعاصرة والتصدي لمحاولات التنفير من الدين
MUI DKI JAKARTA

Sungguh sangat luar biasa dan penuh daging isi ceramah Prof. Dr. Syaikh Muhammad Salim Abu Ashi, MA. di hadapan para ulama MUI Jakarta, cendekiawan, dan pimpinan pesantren dan majelis taklim se-Kota Jakarta pada 26 September 2024 di Hotel Sunlake Jakarta.

Berikut beberapa poin yang kiranya dapat ditindaklanjuti untuk didiskusikan sebagai bahan kajian agar terus memupuk wawasan moderasi para ulama dalam berfatwa maupun membimbing umat dalam persoalan keumatan dan kebangsaan:

  1. Kajian terkait masalah al-Qotiyyah dan al-Zhonniyah. Al-Quran meski ialah Qot’iyyah Tsubut, tetapi mayoritas kandunganya adalah Zhonniyud Dilaalah disamping sedikit juga yang Qotiyyud Dilaalah. Anwar Shah Al- Kashmiri menyebut: problem dari kalangan Salafiyun misal Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abd. Wahhab sering menarik persoalan yang ranah Zhonniyah ke dalam ranah akidah yg dalilnya harus berdasar dari Qotiyyud Dilaalah.
  2. Pentingnya menguasai masalah Al-‘Urf (adat istiadat/tradisi) sebagai dalil dalam pertimbangan hukum/fatwa. Al- ‘Urf yang dapat mentakhsish ‘Am, apakah yang dimaksud al-‘Urf al- Qadim/saat nuzul (turunnya) ayat atau al-‘Urf al-Jadid/yang ada saat ini?.

Syaikh Abu Ashi menyontohkan kasus hukum photografi, maka seorang ulama harus melihat makna larangan akan ‘tashwir’/menggambar dalam hadits, dengan bentuk tashwir (patung) yg dikenal saat hadits disebutkan (bukan bentuk yang ada sekarang seperti yg muncul dalam album photo).

  1. Persoalan apakah bahasa tetap atau berkembang?. Pelajari perdebatan ahli bahasa dalam masalah tsb. Terkait hujjiyah (keabsahan bahasa sebagai hujah), dalam kasus Bahasa Arab, apakah kita memahami makna ayat al-Quran melalui bahasa yg dikenal saat wahyu turun, atau melalui bahasa saat kini; dimana hampir disepakati bahwa bahasa terus berkembang.

Turunan masalah: dalam ilmu Usul Fikih, hadist riwayat tunggal (khabar ahad) bersifat Zhoniyyah, maka derajatnya tdk bs naik menjadi Qotiyyah kecuali ada Qorinah (tanda penguat lain) yg mengubahnya. Imam al- ‘Asy’ari dan al-Maturidi menilai Khabar Ahad, dilaalahnya tdk bs menetapkan akidah, alasannya rasional, bahwa sesuatu yang yakin (akidah) tdk dpt dilahirkan dr yg Zhonniy. Tapi kalangan Salafiyah bilang: Khabar Ahad yg dhonniy dapat menetapkan akidah. Lalu apakah Khabar Ahad jg dapat menetapkan masalah kauniyah (alam), kedokteran, sosial dlsb. Pemikir besar Mesi Muhammad Al-Ghazali bilang masalah perempuan, negara, dan keumatan saja tdk dpt ditetapkan hanya melalui Khabar Ahad yg dhonniy.

  1. Penting bagi ulama untuk mengkaji teori Dalaalat al-Fadz dalam ilmu Usul Fikih. Tidak faham ilmu dalaalat hakikatnya ia belum belajar Usul Fikih. Tdk paham Usul Fikih agar menjauhkan dirinya (wara’) dari fatwa. Dalam Fikih khususnya Hanafiyah, dalaalat dibagi 20 macam (pelajari). Dalaalat alfadz ini diambil dari bahasa Arab, apakah ia Zhonniyah atau Qotiyyah. Dalam mazhab lama, Imam Syafii bilang Dalaat al-Fadz adalah Zhonniyah, sementara menirut mazhab Hanafi ada rincian/perbedaan, namun lebih besar mengganggap ia Qotiyyah.
  2. Para ulama juga harus memahami teori Istidlal hukum dari dalil Quran dan Sunah. Hubungan antara dalil dengan maknanya (madlul). Tidak boleh menetapkan dari dalil yang umum, digunakan untuk sesuatu yang khusus. Hendaknya kita perkaya wawasan kita dg ilmu Bahts dan Munadzarah, guna melengkapi keulamaan kita dan memahmi teori Istidlal sehingga tidak salah menetapkan hukum.
  3. Nah, kembali kepada Dalaalat al-Fadz di atas, asal dalaalat tsb lagi-lagi adalah dr bahasa Arab. Pertanyaaanya: apakah maksud bahasa tsb adalah yg lama saat turun wahyu, atau bahasa yang berkembang saat kini.?
  4. Bagi kalangan modernis yg menilai bahasa terus berekmbang, tidak ada batasnya sampai kapanpun. Maka menurut mrk misal: mufakkir Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid dan semisal bilang, takwil dan tafsir al Quran tidak boleh berhenti, setiap masa harus menemukan makna ayat yg relefan bagi zamannya. Maka harus bisa dipertemukan antara dua kutub pemikiran antara ushuliyyun yg masih berpegangan pada point center bahasa klasik, dg mutaharrirun yg berpandangan bahasa modern harus dijadikan landasan bagi penafsiran teks al Qur’an.
  5. Masalah yang penting kemudian, terkait perbuatan dan perkataan Nabi Muhammad Saw yang harus dipahami sesuai konteks status dan kedudukan Nabi sebagai apa. Apakah sabda bliau saat itu sebagai Imam (pemimpin umat), Mufti, atau Nabi. Maka jika kita paham poin ini, maka selanjutnya akan melahirkan pemahaman yang benar pula terkait makna syariah yang selalu shalihun (cocok) di segala zaman dan tempat. Kebenaran kandungan teks harus diimbangi -sebagaimana disebut mutaharrirun- dengan Tarikhiyatu (kesejarahan) Nash (al-Quran dan Sunnah). Meski teori kesejarah Nash itu relatif; dapat benar atau salah. Pada intinya, harus dipahami agar Syariah itu betul cocok implementasinya ( muruunah) untuk segala ruang zaman dan tempat; bahwa yang tetap (tsabat) adalah mafhum, tapi ma shadaqa (al-afrad) harus berubah (mutaghayyir). Contohnya kasus nafkah suami kepada istri, jizyah, ribattil khail, syuro, larangan musyrik masuk jazirah arab, kondisi dan pengertian zaman dahulu, harus berbeda implementasinya dg zaman sekarang.
  6. Pemahaman terhadap kaidah dan teori hukum dari pengambilan dalil-dalil di atas, akan membantu ulama dan mufti menuju keagungan Islam sebagai agama yg penuh rahmat dan kemudahan. Dirinya tidak lekas menjauhkan orang dari agama dengan satu keahlian tetapnya yaitu mengumbar fatwa haram, sesat, atau bid’ah. Imam Nawawi as- Syafii dalam kitab Adab Fatwa menuliskan:

إنما العلم أن تسمع بالرخصة عن ثقة، فأما التشدد فيحسنه كل أحد”

” Sejatinya ilmu adalah mendengarkan solusi memudahkan yang keluar dari orang yang tsiqoh (ulama kredibel dan dapat dipercaya), sementara jalan keras/kaku siapapun saja bisa memerankannya”.

–‐—–‐—————————————————————-
Disarikan Muladi Mughni dari isi ceramah Prof. Dr. Syaikh Muhammad Salim Abu Ashi, MA. Guru Besar Tafsir dan Ilmu Al -Qur’an, Al-Azhar Mesir dalam Seminar Internasional yg diselenggarakan MUI DKI Jakarta, Kamis, 26 September 2024 di Hotel Sunlake Jakut.

Admin PKU

previous post next post

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

contact info

subscribe newsletter

Awesome hexagon themed stream pack, You can change hexagon

Get updates On New Courses and News

© 2024 Pendidikan Kader Ulama MUI DKI Jakarta | All Rights Reserved